Kamis, 29 September 2011

Ukuran “Loyalitas” Seorang Karyawan


Oleh : Abu Majid

Loyalitas, sebuah kata yang cukup sering kita dengungkan. Namun terkadang kita sedikit kebingungan manakala ditanya “Apa sih definisi Loyal itu? “.
Banyak diantara kita , karyawan Pupuk Kaltim, yang mindset-nya masih terpaku pada definisi lama, dimana Loyal diartikan sebagai seseorang yang rela bekerja diluar jam kerja rutin, baik dengan upah maupun tanpa upah.atau seseorang yang mengabdi pada perusahaan dalam jangka waktu lama (masa kerja). Tidak salah memang, Namun tampaknya pada era sekarang yang namanya loyalitas dalam bekerja sudah tidak lagi berpatokan kepada lamanya waktu dia bekerja di perusahaan (baik jam kerja maupun tahun bekerja), akan tetapi sudah mulai bergeser dan  lebih sedikit spesifik melihat kepada seberapa besar kontribusi dan profesionalisme seseorang karyawan dalam bekerja di perusahaan.
Namun memang bagi perusahaan yang masih menghargai loyalitas karyawannya akan sangat baik bila dapat me-maintain motivasi kerja dan kinerja karyawannya dengan memberi nilai diatas rata-rata.

Secara umum sampai  sekarang ini masih banyak perusahaan yang memberikan penghargaan kepada karyawan berdasarkan loyalitas kerjanya. Seperti adanya faktor lama bekerja menjadi salah satu pertimbangan pemberian bonus. Adanya pemberian gift ataupun award bagi karyawan yang sudah bekerja 5, 10, 15 dan 20 tahun di perusahaan, dsb. Sedangkan di Pupuk Kaltim, pemberian bonus dan insentif adalah hak setiap karyawan sesuai porsinya, dan penghargaan terhadap loyalitas ( masa kerja ) juga diberikan dalam bentuk penghargaan sewindu, dwiwindu, dan triwindu serta catur windu bakti.
Pada dasarnya hubungan loyalitas kerja dengan penghargaan, baik yang bersifat tangible maupun yang non-tangible tsb adalah sah-sah saja, selama si karyawan memang tetap memiliki motivasi dan kinerja yang baik dalam perjalanan karir di perusahaan tersebut.
Perusahaan sebesar Pupuk Kaltim, yang memiliki ribuan Karyawan, rasanya akan mustahil kalau menjadikan Loyalitas dan profesionalisme sebagai dasar pemberian penghargaan yang bersifat “materi”.Namun sangat jelas bahwa loyalitas dan profesionalisme mendapat perhatian yang sepadan dan berbanding lurus dengan karir seorang karyawan.
Kembali pada judul tulisan diatas, saya pernah membaca sebuah artikel HRD (maaf, lupa sumber aslinya), yang mengatakan bahwa, loyalitas itu diukur dari : Semaksimal apa seorang karyawan menggunakan kemampuannya untuk memberikan kontribusi lebih kepada perusahaan tempat ia bekerja sekarang.
Maksimal adalah tidak mengatakan “ah, saya sih terserah saja, saya digajinya segitu… ngapain juga harus kerja lebih”, atau mungkin “ saya khan hanya pelaksana, ya cukup melaksanakan apa yang diperintahkan atasan dong, ngapain susah-susah belajar atau mengerjakan yang tidak diberikan atasan tetapi maksimal adalah mengatakan “OK, sekarang gajiku segini, tetapi kan saya bekerja untuk Tuhan dan atas nama keluarga saya?!, jadi apa salahnya memberikan yang lebih hebat dari kemarin?” Toch Tuhan tidak pernah tidur dan tak pernah lupa mencatat. Jadi, kalau atasan saya tidak melihat ini adalah suatu kelebihan saya,biar saja pasti Tuhan akan melihatnya”.
Jadi definisi tersebut hampir tidak berhubungan antara LAMANYA seseorang bekerja di sebuah perusahaan / organisasi dengan LOYALITASNYA.
Bahkan, Anda tahu, banyak sekali orang-orang yang terus bekerja di suatu perusahaan, bertahun-tahun lamanya, dengan kontribusi yang “mediocre”, tak se-kompeten rekan-rekan seangkatannya. Bahkan lingkungannya bekerjanya pun sudah men-cap / memberi stempel “buruk” padanya.
Dalam kenyataan sehari-hari, (membaca buku “Jalan Panjang Menuju Praktik Terbaik Manajemen SDM” karya Pak Wien H.), Perusahaan sesungguhnya hanya mengharapkan loyalitas ditunjukkan dalam bentuk hasil kerja yang tinggi dari setiap Karyawan,motivasi yang tinggi dalam mencapai visi dan misi Perusahaan. Menjadi penting sekali bagi Perusahaan untuk menyimak secara teliti dan obyektif bila ternyata suatu hari mendapati kenyataan tampilan loyalitas adalah kinerja Karyawan yang rendah walaupun masakerjanya lama, dimana letak kesalahanya?
Pada akhirnya harus dilakukan pendekatan bottom-up, segenap kenyataan di lapangan yang menuntut adanya penghargaan loyalitas (masakerja) harus berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja.
Jadi, kita tetap tidak akan salah apabila masih mendefinisikan Loyalitas sebagai bagian dari masa kerja yang lama, karena dengan masa kerja yang lama sudah sewajarnya bila seorang karyawan memiliki profesionalisme yang hebat pula.

Regards

Abu Majid

Rabu, 28 September 2011

Jika Karyawan 'Senior' Kurang Kompeten

Oleh : Abu Majid

     Sekitar sepuluh tahunan yang lalu, ketika baru beberapa saat saya bekerja tentulah belum banyak yang saya ketahui tentang kebijakan yang diterapkan dalam perusahaan. Sebagai karyawan baru saya butuh figur-figur karyawan senior yang dapat dijadikan Inspirator dan Motivator. Disaat-saat saya mulai ‘berkenalan’ dengan karyawan-karyawan senior, tiba-tiba ada seorang karyawan ( yang saya kenal melalui kegiatan Masjid ) bercerita bahwa beliau akan keluar dari Perusahaan. “Lho…tidak sayang Pak dengan karier yang sudah dirintis puluhan tahun, bukankah ditempat yang baru Bapak harus mulai dari nol lagi “ komentar saya kala itu.” Saya sudah pikirkan masak-masak Mas” katanya singkat.

Menarik.Rasa penasaran akan apa dan mengapa beliau  ingin pindah mendorong saya untuk bertanya pada orang-orang yang mengenal beliau dengan baik. Akhirnya sayapun tahu bahwa penyebab utama keinginan untuk pindah adalah karena Karyawan ‘Senior’ yang menjadi atasan beliau kurang bisa menjadi motivator dan malah dirasa menghambat kreatifitas dan pengembangan dirinya.Itu salah satunya.
    Banyak motif yang menyebabkan seorang karyawan merasa tidak betah dan ingin pindah dari satu tempat ketempat yang baru. Dari satu bagian ke bagian lain, dari satu Departemen ke departemen yang baru dalam satu perusahaan, atau bahkan pindah dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain.

Ilustrasi berikut menggambarkan salah satu motif tersebut. Seorang karyawan, sebut saja Doni. Sudah lima  tahun Doni bekerja diperusahaan yang bergerak dibidang industri otomotif. Sebagai seorang staff, waktu lima tahun sudah cukup buat  Doni untuk menguasai seluk beluk pekerjaannya. Atasan Donipun sangat senang dengan kinerja Doni, bahkan beberapa tugas sang atasan secara perlahan mulai didelegasikan padanya, dan hasilnyapun memuaskan. Disaat hubungan kerja antara Doni dan atasannya kian solid, tiba-tiba sang atasan dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi dalam perusahaan itu. Dan sebagai penggantinya, managemen menunjuk seorang karyawan senior dari bagian lain menjadi atasan Doni.

  Diawal –awal pergantian atasan, tidak nampak kendala yang dialami Doni, dengan senang hati dia menghandle semua pekerjaan sang atasan, karena sebagai pejabat baru sang atasan tentulah perlu menyesuaikan diri dan harus belajar banyak tentang Job-job yang harus ditanganinya. Waktupun berjalan, setelah tiga bulan berjalan Doni merasa mulai tertekan karena ternyata atasannya bukanlah orang yang kompeten dibidangnya malah terkadang memiliki sikap sok tahu sehingga Doni tidak dapat mengembangkan kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya. Jobdes yag harus dikerjakan menjadi tidak jelas.” Kerjakan saja yang Pak Doni bisa” jawab sang atasan ketika suatu hari Doni menanyakan Jobdes yang harus dilakukan. Suatu hari ada pekerjaan bersifat urgent yang harus dilakukan, karena atasan sedang tidak ada ditempat Doni terpaksa konsultasi dengan atasan dibagian lain. Dikemudian hari ternyata muncul permasalahan kecil dengan pekerjaan tersebut . “ Pak Doni, saya mau tahu kenapa pekerjaan ini bermasalah” kata sang atasan. Doni menjelaskan kronologis pekerjaan tersebut.Ternyata ada rasa tidak puas dari sang atasan.” Pak Doni, semua pekerjaan yang tanpa sepengetahuan saya, saya tidak bertanggung jawab” kata sang atasan bernada mengamcam. Mau tak mau akhirnya Donipun harus ‘membereskan’ pekerjaan itu sendirian.

Kejadian seperti yang dialami Doni tersebut sering terjadi dalam sebuah organisasi yang bernama Perusahaan, dan hal tersebut tanpa disadari akan membuat "mati" kemampuan seseorang. Orang yang menduduki jabatan tinggi tetapi tidak kompeten dibidangnya karena jabatan yang diperolehnya hanya karena kedekatan dengan pejabat akan merugikan banyak pihak.

Dan ironisnya, jarang atasan di Top managemen hingga Midle yang tahu persis kondisi karyawannya hingga level paling bawah. Management beranggapan bahwa semua karyawan memiliki atasan langsung. Padahal justru, biasanya suatu permasalahan seorang karyawan sudah teredam oleh atasan langsung tanpa ada kesempatan si karyawan ‘mengadu’ kepada level atasan yang lebih tinggi. Kalaupun si karyawan tetap bersikeras, maka iapun harus menaggungnya dengan mendapat cap “pembangkang”.

Dari pengamatan saya, hampir ….% teman-teman bermasalah dengan atasan langsung mereka.
Jika keadaan dibiarkan begini terus maka karyawan dapat memandang rendah manajemen, ada perasaan kurang puas. Menyikapi hal ini HRD harus dapat menjembatani sehingga tidak terjadi krisis kepercayaan.

    Di PT.Pupuk Kaltim semoga tidak, meskipun saya masih sering menemukan teman yang”nggrundel” dibelakang. Mereka mengeluhkan atasan yang begini-begitu. Hal ini menjadi dilema ketika seseorang karyawan enggan mengadukan permasalahanya ke HRD. Padahal setahu saya HRD kita sangat welcome, berilah pekerjaan orang-orang di HRD, karena kalau tak ada karyawan yang bermasalah maka HRD terkesan tidak ada “pekerjaan”. HRD dapat memberi berbagai masukan untuk permasalahan yang dihadapi karyawan, HRD dapat memberikan jalan tengah terhadap permasalahan yang timbul. Nah tugas lain HRD seharusnya melakukan penilaian rutin bagi setiap karyawan yang mungkin  mekanismenya dengan cara semacam diskusi. Karena dari sebuah diskusi seorang psikolog dapat memberi penilaian yang valid terhadap audiensnya.

Jika keadaan ini tidak dapat diatasi maka akan seperti bom waktu karyawan yang berpotensi pun akan segera mencari tempat kerja lain. Bisa jadi karyawan yang berpotensi itu sudah cukup puas dengan penghasilannya tetapi belum tentu betah ditempat kerjanya.

    PR bagi para atasan tentunya untuk dapat lebih ‘mengenal’ bawahanya. Tidak akan mungkin terjadi bawahan yang berusaha ‘mengenal’ atasanya. Banyak kode etik yang tak tertulis yang menghalanginya. Jika selama ini anda kurang akrab dengan bawahan, mulailah sedikit meluangkan waktu untuk ngobrol, Mulailah dari hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya, kemudian pertanyaan seputar keluarga dan dari situ anda akan dapat ‘membaca’ keinginan dan harapan si bawahan. Hampir 90% bawahan sangat senang kalau ditanya khabar keluarganya. Mereka merasa benar-benar diperhatikan.

Regards,

Abu Majid